Dua belas tahun yang lalu, saya tinggal di satu desa di Karawang. Saya bertugas untuk menjadi pendamping petani. Uraian tugas saya adalah memfasilitasi sebuah proses belajar bernama Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu atau dikenal SLPHT. Saya bersama kelompok tani bertemu secara berkala untuk belajar mencari cara terbaik dalam budidaya dan pengendalian hama penyakit padi.
Jujur, waktu itu saya tidak mengerti soal tanam menamam secara detail, apalagi soal hama dan penyakit padi. Saya memang lulusan IPB, dengan label mahasiswa pertanian. Namun jurusan saya adalah teknologi pangan dan gizi, penelitian saya tentang kinetika reaksi biokimia pangan. Hampir setahun sebelum lulus saya menghabiskan banyak waktu di laboratorium. Saya lebih akrab dengan soal enzim, asam lemak, kromatografi, evaporator dan rumus rumus kimia pangan dibanding soal wereng coklat, penggerek batang dan enceng gondok.
Namun latar belakang calon pendamping bukan soal. Institusi yang menugaskan saya membekali beberapa kemampuan sebelum turun ke komunitas petani. Saya dilatih pendekatan partisipatif dalam memahami desa atau dikenal dengan Participatory Rural Appraisal (PRA). Saya juga dibekali falsafah dan teori tentang pertanian ekologis dan pemberdayaan masyarakat. Debut pertama saya sebagai pendamping lapangan adalah di Karawang yang dikenal sebagai lumbung padi, laboratorium produksi pangan nasional.
Pertama datang ke desa Cikuntul, hal pertama yang saya pikirkan adalah bagaimana beradaptasi dengan lingkungan sosial di Karawang. Ini penting karena saya akan berada di wilayah ini dalam waktu enam bulan, dengan rincian dua minggu di Karawang dan dua minggu berada di Bogor, lokasi kantor saya. Perjuangan pertama adalah melawan diri sendiri. Keberanian untuk menghadapi tantangan baru yang belum pernah saya lakukan. Tinggal di desa.
Saya tinggal di rumah seorang petani. Hidup saya berubah. Sebelumnya saya bisa hidup semau gue ketika tinggal di kost atau numpang di kantor. Kini saya berada di rumah sebuah keluarga tani, dengan seluruh dinamika hidup mereka alami. Saya menjadi dekat dengan masalah keluarga tani, soal lilitan hutang, soal semakin mahalnya harga pupuk dan pestisida, gagal panen dan berbagai pernak pernik kehidupan petani. Setiap hari saya berkeliling untuk berkenalan dengan petani, memahami budaya setempat, nongkrong dengan anak muda dan ngobrol sampai larut malam dengan para tokoh petani setempat. Perlahan saya mulai bisa beradaptasi dan masyarakat pun bisa menerima saya.
Setelah seminggu beradaptasi, mulailah saya menjalankan tugas. Pertama yang saya lakukan adalah merancang pertemuan. Dalam pertemuan pertama saya memperkenalkan diri dan lembaga saya, lalu bertukar pikiran soal masalah hama dan penyakit. Dengan jurus jurus komunikasi pemberdayaan akhirnya saya berhasil meyakinkan petani untuk membuat rencana sekolah lapang. Kami membuat kontrak belajar selama satu musim berisi pertemuan berkala mingguan, melakukan pengamatan lapangan pada lahan ujicoba serta membagi tugas dalam kelompok tani.
Menyiapkan lahan percobaan menjadi interaksi pertama saya dengan lumpur sawah. Kami membuat petak uji coba, mulai dari olah tanah, membuat galengan antar petak sampai dengan membuat persemaian. Sebagai pendamping saya tidak bisa enak enakan, saya harus turut menceburkan diri ke sawah, turut mencangkul tanah dan membersihkan gulma, serta bangun malam hari untuk mengairi petak ujicoba. Keterlibatan langsung saya membuat petani menjadi semakin dekat dan tidak ada jarak sosial antara orang luar dan orang desa. Modal penting untuk langkah selanjutnya.
Dalam sekolah lapang PHT ada beberapa prinsip penting. Yakni, budidaya tanaman sehat, melestarikan predator atau musuh alami, pengamatan tanaman secara berkala dan petani sebagai ahli PHT. Kami sepakat menambahkan satu prinsip lagi yaitu, belajar bersama lebih baik dibanding sendiri sendiri. Kami sepakat melakukan penelitian untuk menguji beberapa jenis varietas padi dan ketan, mencatat pertumbuhan tanaman dan serangan hama penyakit. Ketika proses berjalan, terjadi serangan hama serius yakni ledakan hama keong mas. Petani hampir frustasi karena pesemaian mereka digerogoti keong mas.
Saya mengajak petani untuk melakukan analisis masalah ledakan keong mas ini. Mengapa keong mas bisa meledak populasinya? Dengan menggunakan analisis pohon masalah kami menemukan akar masalah, penyebab dan dampaknya. Kami merangkumnya dalam kertas plano mengenai prioritas masalah dan tindakan yang harus dilakukan. Tapi kami tak lantas percaya, kita ingin membuktikan di lapangan dan melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Petani nampak bersemangat siap bergerak untuk menjalankan agenda yang disusun mereka sendiri.
Pertama kami menghitung populasi serangan dengan membuat bujursangkar selebar 1×1 meter dari potongan bambu. Bersama petani kami melakukan transek lapangan atau berjalan dari ujung hamparan sampai dengan ujung lainnya, sekitar 10-15 km. Setiap rentang jarak tertentu, kami berhenti dan menghitung jumlah keong mas dalam bujur sangkar serta mengamati perilaku si keong mas tersebut. Hasilnya adalah sangat parah, populasi si keong sangat tinggi. Tidak ada pilihan harus dikendalikan secara massal dengan cara diambil langsung. Menggunakan pestisida apapun tidak akan berhasil karena keong mas telah bercokol di saluran irigasi, memungkinkan tersebar luas ke seluruh hamparan.
Mengendalikan hama keong mas dalam populasi besar, memerlukan keterlibatan warga desa dalam jumlah besar. Harus ada gerakan massa gotong royong untuk mengatasi keong mas. Saya bersama tokoh petani mengorganisasi massa dari tingkat RT, Dusun sampai tingkat desa. Kami mengharapkan kepala desa mengeluarkan instruksi kepada warganya untuk bersama sama dalam satu hari gotong royong mengambil keong.
Ternyata rencana ini terdengar oleh aparat kodim dan kepolisian. Dalam masa dimana polisi dan tentara masih ganas ganasnya, sebelum masa reformasi maka mereka curiga atas rencana kami untuk mengumpulkan massa. Saya dipanggil dan diinterogasi ala Orde Baru, dan diancam ditangkap jika terjadi huru hara. Walaupun sempat deg degan, namun saya berhasil meyakinkan kegiatan gotong royong. Kepala desa dan para tokoh tani membantu saya dalam meyakinkan kepada aparat keamanan, bahkan mengajak para polisi dan tentara untuk terlibat karena masalah keong mas ini sudah meresahkan dan merugikan petani.
Gerakan massal pun berlangsung. Masyarakat tumpah ruah turun ke sawah, membawa karung kosong dan menangkapi keong mas dan membasmi telurnya yang berwarna merah muda. Polisi dan tentara datang dengan pakaian lengkap, terpaksa harus berkotor lumpur karena tidak ada pilihan ditodong untuk ikut mengambili keong mas. Saya masih ingat ada ribuan karung menumpuk di tepi sawah berisi keong mas. Sebagian dibawa pulang untuk diolah menjadi pakan bagai yang punya ternak itik. Sayang waktu itu belum ada facebook dan twitter, bahkan kamera foto pun saya tak punya.
Rencana kami membuahkan hasil. Pesemaian tak lagi tidak diganggu keong mas. Populasi keong mas jauh menurun, jika ada serangan sisa petani sudah tahu tekniknya. Kami menemukan sebuah cara menjebak keong mas dengan membuat lobang di pinggir sawah, lalu memasukan dedaunan busuk sehingga menarik perhatian si keong. Ternyata efektif, keong mas lebih suka daun busuk dibanding daun padi muda di pesemaian. Desa Cikuntul pun selamat dari keong mas.
Selama satu musim tanam prinsip pertanian ekologis mulai dipahami dan dipraktekkan petani. Petani sudah bisa membedakan mana hama dan mana musuh alami. Petani pun mulai tidak sembrono menggunakan pestisida. Mengapa harus menyemprot membabi buta kalau masih ada teman (musuh alami) di sawah? Uang pun bisa dihemat dari pada membeli racun hama.
Sayangnya setelah enam bulan masa tugas saya, datanglah program Kredit Usaha Tani (KUT) yang diberikan pemerintah dalam bentuk paket pupuk dan pestisida. Usaha membangun prinsip PHT berlawanan dengan program pemerintah yang justru sudah menyediakan pestisida dalam kredit usaha tani. Apa yang sudah dipelajari, mulai luntur dan menyisakan beberapa petani saja yang masih tangguh dalam praktek pertanian ramah lingkungan.
Pengalaman dalam pendampingan lapangan membuat saya menjadi paham urat nadi masalah pertanian di lapangan. Tahun berikutnya saya naik kelas, bergerak pada level pengorganisasian belajar lintas wilayah. Membangun jejaring antar sesama petani Karawang yang sudah pernah sekolah lapang PHT, atau petani alumni SLPHT. Kami merancang sebuah early warning system untuk ledakan hama dan cara mengatasinya. Sempat berjalan ketika mengatasi persebaran serangan wereng coklat dengan pengendalian non pestisida kimia. Namun usaha ini bertentangan dengan pemerintah yang masih mempromosikan pestisida sebagai cara satu satunya dalam mengendalikan hama.
Pembelajaran dan diskusi petani berkembang tidak hanya melulu pada soal hama dan agro-ekosistem namun juga soal hak hak petani. Bersamaan masa reformasi, petani mulai berani mengatakan pendapatnya. Tak jarang terjadi pertentangan. Seorang petani sahabat saya sempat didemo oleh segerombolan PPL, karena meneriakkan pembubaran PPL akibat kesal dengan penggunaan pestisida.
Saya tidak tahu apakah pendampingan petani masih dibutuhkan dalam masa reformasi, demokrasi dan keterbukaan media massa seperti sekarang. Pendampingan dengan terlibat langsung, tinggal di desa dan bersama membangun agenda bersama untuk mengatasi masalah petani, menggalang kebersamaan dan pembelajaran sosial serta memasyarakatkan pertanian yang ramah lingkungan adalah sebuah pendekatan yang mungkin cocok untuk masa itu. Jaman sekarang, pendampingan petani terkesan kurang keren dan heroik. Tak banyak lembaga yang konsisten mengembangkan program pendampingan petani. Jikapun ada, pola pendampingan lebih bersifat instan, pendamping hanya datang pada saat pertemuan. Semakin kabur siapa yang mendampingi dan siapa yang didampingi. Pertisipasi direduksi menjadi mobilisasi. Tidak terbangun social learning, pendamping hanya mengerjakan profesi sesuai arahan proyek. Program pendampingan sekilas nampak seperti wisata kunjungan sosial dalam waktu singkat saja di desa.
Perubahan juga pada komunitas petani, yang lebih terbuka. Informasi tersedia luas, internet masuk ke pedesan.Petani semakin kritis dan pintar. Maunya yang praktis praktis saja. Strategi pendampingan pun mengalah disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika sosial ekonomi petani pada saat ini. Petani pun sudah sangat akrab dengan teknologi HP, komputer dan teknologi audiovisual. Makin modern.
Modernisasi pendampingan dan penyuluhan petani menawarkan sisi kepraktisan dan efisiensi dengan adanya teknologi informasi. Pendamping membawa peralatan canggih, kamera foto digital, perekam gambar dengan presentasi power point ke lapangan. Bagaimana dampaknya? Toh persoalan petani tidak kunjung usai. Pertanian ekologis tidak banyak berkembang luas. Pendamping semakin atraktif, namun petani semakin pragmatis.
Sampai sekarang masa depan pertanian ekologis belum nampak terang. LSM pendamping petani makin menurun, lebih banyak yang bergerak di aspek politik pertanian dibanding aspek kongkret di lapangan seperti soal hama dan penyakit. Kebijakan pemerintah masih belum tegas dalam memilih pertanian ekologis sebagai fondasi kebijakan, masih dalam pola lama ala Revolusi Hijau tahun 1980-an dengan mengandalkan benih hibrida impor, buku dafar perusahaan dan jenis pestisida makin tebal dari tahun ke tahun, pertanian berkelanjutan masih sebagai kata pemanis yang tidak banyak terbukti dalam praktek kebijakan dan program di lapangan. Masalah petani masih sama dengan sepuluh dua puluh tahun yang lalu. Mandeg.
Suatu hari saya mendengar cerita dari seorang kawan tentang aparatur pertanian di sebuah kabupaten membagi bagikan pestisida dalam sebuah tong. Pestisida berbagai jenis dioplos dengan air dalam tong, para petani berebutan untuk mengambilnya dengan gayung. Saya sedih mendengarnya. Pada masa seperti sekarang, perilaku dan tindakan kuno dalam mengatasi hama masih dilakukan. Fakta tersebut, membuat saya merenung barangkali pendampingan petani masih perlu dilakukan. Pendampingan dalam esensi yang sama, namun format yang disesuaikan dengan perkembangan era saat ini.
Komentar terkini