Oleh: David Ardhian | Maret 21, 2012

Akses Pasar untuk Petani

Suatu hari saya berkunjung ke Pangalengan, sebuah kecamatan Bandung Selatan. Saya bertemu kelompok tani yang sedang bergiat untuk memasarkan produknya. Saya bertanya pada seorang petani jenis tanaman apa yang sedang ditanam. Seorang petani menjawab : “Kami menanam sepinat, Mas”. Lalu saya berpikir keras apa yang dimaksud tanaman “sepinat”? Setelah saya lihat ke kebun mereka ternyata adalah tanaman “bayam”. Maksudnya adalah “spinach”, bahasa Inggris dari bayam.

Penyebutan spinach dalam logat Sunda tersebut bagi saya menarik. Tentu saja istilah “sepinat” tersebut diperoleh dari proses interaksi sosial. Ceritanya, kelompok tani tersebut bekerjasama dengan pedagang sayur dengan pembeli dari Korea. Artinya bayam produk petani Pangalengan tersebut akan diekspor ke negeri Ginseng. Benar adanya, petani menggunakan istilah yang sama dengan bahasa para pedagang eksportir tersebut, bahkan para pembeli dari Korea juga pernah beberapa kali datang ke Pangalengan.

Selepas dari Pangalengan dengan berbagai cerita lengkap soal ekspor bayam, seluk beluk dan suka duka petani memberikan banyak inspirasi sekaligus perenungan. Akses pasar terhadap produk petani kini terbuka luas. Petani dengan skala kecil pun kini telah menjadi bagian dalam sebuah rantai pasar produk pertanian global. Para pedagang dari kota, eksportir dan bahkan importir dari luar negeri bisa langsung berhubungan dengan petani di pedesaan. Dugaan saya tidak hanya di Pangalengan, namun juga di berbagai daerah yang lain.

Keterbukaan pasar ini memberikan peluang namun sekaligus ancaman. Kasus petani di Pangalengan membuat saya merasakan perubahan sosial ekonomi yang nyata di dunia pertanian. Bayam yang seikat hanya dijual dua ribu rupiah jika kita beli di tukang sayur keliling, bisa menjadi sebuah produk dengan kelas ekspor. Tentu saja dengan akses pasar semakin terbuka, maka peluang untuk mendapatkan nilai tambah dari produk akan semakin besar. Petani punya peluang untuk melipatkan pendapatan, yang akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.

Namun hal tersebut bukan berarti tanpa resiko. Ada tiga level pasar, yakni pasar lokal, pasar lintas wilayah dan pasar ekspor, dimana semakin tinggi dan eksklusif akses pasar maka semakin tinggi resikonya. Jika menjual bayam pada tengkulak lokal maka resiko petani rendah, mereka tidak berurusan dengan standar kualitas yang ribet dan resiko komplain dari pembeli. Ketika masuk pasar lintas wilayah, apalagi ketika mendapatkan label produk organik, maka pasar semakin cerewet. Petani mesti mengubah cara bertanam, mulai harus cermat dalam kualitas bibit, serta perlu pengemasan yang enak dipandang sehingga layak dimata konsumen kota yang ingin hidup sehat. Terlebih jika petani harus menjual produk dengan standar ekspor, jelas ukuran yang digunakan dalam standarisasi adalah ukuran negara pengimpor. Petani harus makin ketat dalam pengelolaan budidaya yang sesuai dengan standar negara pengimpor.

Pertanyaannya adalah apakah setiap pihak yang terlibat dalam rantai pasar, memperoleh keuntungan yang sesuai dengan pengorbanan yang diberikan? Ini masalahnya. Petani masih saja sebagai pihak yang memiliki resiko terbesar, namun memperoleh nilai yang paling kecil diantara para pelaku dalam rantai pasar, entah pasar lokal, nasional atau ekspor.

Kuncinya adalah kelembagaan pada tingkat petani. Tanpa kelembagaan yang kuat, dimana termasuk pengetahuan dan penguasaan informasi pasar maka petani akan menjadi pihak paling rentan. Jika tiba tiba mitra dagang atau eksportir memutus kontrak, maka petani akan menerima kejutan langsung penurunan pendapatannya. Sebaliknya jika produk petani tidak sesuai dengan standar dari mitra dagang maka dengan segera produk tersebut bisa ditolak. Ada posisi asimetris dalam pola relasi tersebut. Keuntungan dan resiko belum terbagi dengan adil, ditengah kesenjangan posisi tawar dan kapasitas kelembagaan antar pelaku dalam rantai pasar.

Lebih dari itu keterbukaan pasar impor mengundang pertanyaan yang lebih serius. Tanpa penguatan kelembagaan petani dimana posisi tawar petani lemah, bukahkah sebuah bentuk pemanfaatan petani sebagai mesin produksi semata untuk pemenuhan kebutuhan bagi negara pengimpor? Hal ini pula yang membuat penguasaan lahan di negara berkembang atau land grabbing semakin marak di berbagai negara berkembang. Akses pasar untuk petani adalah sebuah narasi yang harus didefinisikan lebih mendalam dalam konteks pembangunan pertanian, utamanya pemberdayaan petani Indonesia.

Akhir akhir ini marak berbagai program untuk pengembangan “akses” pasar bagi petani, baik yang dilakukan pemerintah, LSM maupun berbagai CSR perusahaan. Apakah niat mulia pengembangan akses pasar tersebut mengarah pada penataan rantai pasar yang lebih adil bagi petani? Ataukah bagian dari penggunaan petani sebagai mesin produksi untuk pemenuhan “standar” kebutuhan konsumen semata?

Oleh: David Ardhian | Januari 11, 2012

Pangan, Pertanian dan Bencana Alam

Kita boleh percaya diri, namun tak boleh kurang kewaspadaan. Sebaliknya, tak cukup hanya berserah pasrah namun harus tetap berusaha. Alam dalam batas tertentu merupakan faktor pembatas gerak kehidupan, tetapi manusia dianugerahi akal dan budi untuk terus berusaha mengatasi hambatan dalam kehidupan, termasuk ketika menghadapi bencana alam.

Indonesia adalah negeri yang rawan bencana alam. Beberapa tahun terakhir intensitas bencana alam datang bertubi tubi. Tsunami, gempa bumi, banjir, kekeringan dan tanah longsor adalah serangkaian bentuk bencana yang telah mengguncang Indonesia, menimbulkan banyak korban baik nyawa manusia maupun harta benda. Indonesia adalah sebuah mosaik bentang alam dimana bencana alam merupakan sebuah resiko yang mau tidak mau harus dihadapi.

Intensitas bencana alam yang makin intens sudah semestinya menggugah kesadaran untuk menengok kembali kesiapan sosial bangsa ini dalam menghadapinya. Barangkali nenek moyang kita belajar dari situasi yang sama dalam membangun berbagai nilai solidaritas sosial. Ikatan sosial yang kuat adalah bentuk konstruksi sosial yang dihasilkan dari masyarakat yang harus berjuang menghadapi alam. Bentuk bentuk kegotong royongan di berbagai kelompok sosial, barangkali dihasilkan karena manusia di nusantara ini tidak bisa bekerja individualistik dalam mengatasi tantangan alam, termasuk resiko bencana.

Pangan adalah kebutuhan utama yang tak bisa ditunda, hal pokok yang harus dipenuhi untuk melangsungkan kehidupan. Pangan dan pertanian adalah ibu dari segala bentuk upaya pemenuhan penghidupan. Ketika bencana alam terjadi maka sistem pangan di wilayah tersebut tiba tiba runtuh. Jelas semua berkonsentrasi pada keselamatan jiwa. Pada masa pemulihan maka kebutuhan pangan menjadi mendesak, ketika ketersediaan pangan justru menipis bahkan habis. Maka para korban bencana alam mengandalkan kiriman bantuan pangan dari luar wilayah. Pola inilah yang terjadi ketika terjadi bencana alam.

Semestinya kita bisa mulai merancang bagaimana sistem pertanian dan pangan yang terintegrasi dengan upaya antisipasi bencana alam, terutama di daerah yang telah diketahui merupakan wilayah yang rawam. Banyak yang bisa dipetik dari kearifan tradisional dan pengetahuan lokal masa lampau sebagai prinsip dalam membangun sistem pangan yang siaga bencana alam. Tentu saja harus disesuaikan dengan situasi perkembangan jaman, dan perlu revitalisasi agar mampu selaras dengan kondisi kekinian.

Lumbung pangan adalah sebuah contoh yang baik. Masyarakat adat nusantara memiliki banyak model lumbung sebagai inti dari sistem pangan lokal. Prinsip dari lumbung pangan adalah menyimpan sebagian dari bahan pangan untuk persediaan ketika masa paceklik dan situasi ekstrem seperti bencana alam. Sudah harus dipikirkan bagaimana stok pangan tersedia di daerah atau sekitar wilayah yang rawan bencana alam. Lumbung dalam artian simpanan bahan makanan harus dibangun dalam sistem sosial masyarakat mulai dari keluarga, komunitas, desa sampai dengan kabupaten. Setiap keluarga harus memiliki ketersediaan lebih bahan pangan, tidak hanya yang habis dimakan sehari hari. Prinsip ini mesti dijalankan untuk membangun ketahanan sosial ketika menghadapi bencana alam.

Pengalaman penting adalah ketika terjadi gempa bumi di Jogja dan Jateng, dimana seluruh infrastruktur produksi pangan runtuh seketika. Padi yang siap panen tidak bisa digiling karena penggilingan padi runtuh. Ada inisiatif dari petani klaten untuk mengembangkan penggilingan beras skala kecil yang bisa dipindahkan satu komunitas ke komunitas lain. Hal ini cukup membantu petani dalam mengolah padi simpanan mereka menjadi beras yang menopang ketersediaan pangan wilayah. Dengan demikian teknologi pengolahan pangan pokok seperti beras harus tersedia dan terjangkau serta mampu mendukung dalam menghadapi situasi darurat bencana.

Secara lebih luas sistem pertanian yang siaga bencana harus disiapkan. Pemetaan potensi pertanian wilayah tidak hanya didasarkan pada kepentingan pasar, namun juga kepentingan dalam menjaga ketahanan pangan lokal terutama ketika terjadi bencana. Ada kecenderungan pertanian mulai mengarah pada pemenuhan kebutuhan pasar. Tarikan pasar telah mengubah lanskap pertanian seperti perluasan perkebunan kepala sawit besar besaran. Lahan tanaman pangan berubah menjadi tanaman komoditas berharga tinggi di pasaran. Hal ini merata terjadi di sebagian besar wilayah pertanian Indonesia, sehingga pangan tergantung pada sentra sentra produksi pangan. Hal ini akan menimbulkan kerentanan ketika terjadi bencana alam.

Dalam konteks pangan dan pertanian yang siaga bencana, ada tiga hal yang perlu dikembangkan. Pertama sistem budidaya dan teknologi pengolahan yang mendukung antisipasi bencana alam. Kedua sistem cadangan dan distribsusi pangan yang tersedia dalam antisipasi bencana. Ketiga adalah sistem tanggap darurat dalam manajemen pangan ketika terjadi bencana, termasuk pola dan skema pemulihan sistem pangan lokal pasca bencana alam. Ketiga hal tersebut bisa diwujudkan dari kondisi pemungkin yakni sistem sosial masyarakat yang siaga terhadap bencana, termasuk dukungan kebijakan dan program pemerintah yang antisipatif dan tidak responsif.

Dengan intensitas kejadian gempa bumi dan beberapa gunung berapi mulai aktif, memberikan tanda alam bahwa beberapa tahun ke depan, bencana alam masih mungkin terjadi. Tidak ada yang ingin bencana alam terjadi, tapi adalah kekeliruan besar jika tidak mengantisipasinya. Tidak ada yang bisa menduga secara tepat kapan bencana alam terjadi. Pengelolaan resiko dan antisipasi lebih baik dibanding tindakan responsif tanpa arah yang penuh ketergesaaan, apalagi sudah memakan banyak korban. Pertanian dan pangan yang siaga bencana adalah hal fundamental dalam pengelolaan resiko bencana alam.

Kita bisa saja memulai dari keluarga masing masing. Menyimpan segelas beras sehari di setiap rumah. Menabung seratus rupiah sehari di setiap keluarga. Siapa tahu akan berguna untuk membantu saudara kita atau diri kita sendiri ketika menghadapi masa sulit bencana alam.

Oleh: David Ardhian | Januari 10, 2012

Laporan FAO : Tanah Pertanian Makin Rusak

Tanah makin tak subur. Kualitas tanah pertanian semakin menurun. Hasil analisis menggambarkan sebagian besar tanah pertanian kekurangan bahan organik. Di wilayah sentra produksi padi, penggunaan pupuk urea menembus angka 300-700 kg/ha, namun produktifitas mengalami stagnasi dan cenderung menurun. Di Indramayu penggunaan pupuk urea adalah tertinggi yakni rata rata 600 kg/ha. Pori pori tanah semakin rapat dengan asupan berbagai input kimia pertanian, membuat mikroorganisme penyubur tanah semakin tergerus. Akibatnya, penyakit tanaman akibat kurang unsur hara seperti penyakit blast pada padi dan fusarium pada bawang merah, semakin luas terjadi.

Masalah kualitas tanah ini berpadu dengan persoalan ketersediaan air untuk pertanian. Ketersediaan air pertanian menjadi semakin labil, banjir di musim hujan dan kering di musim kemarau. Datangnya air ke saluran irigasi semakin tak pasti, mengakibatkan sering terjadi keterlambatan awal tanam. Di beberapa wilayah terjadi perebutan air antar komunitas petani, namun di daerah lain terjadi kebanjiran. Hal ini membuat siklus tanam menjadi sering berubah, yang mengakibatkan siklus hama menjadi semakin sulit diprediksikan. Di Pantai utara Pulau Jawa, persawahan yang dekat dengan laut mengalami tekanan akibat pengaruh rembesan air laut yang meningkatkan kadar keasinan atau salinitas tanah.

Demikian salah satu rumusan temuan dari survey dan kunjungan lapangan yang dilakukan oleh Yayasan Tunas Tani Mandiri (Nastari) dan Klinik Tanaman IPB, yang bertajuk Safari Gotong Royong Petani. Kunjungan lapang maraton ini dilakukan di 24 Kabupaten/Kota di Jawa, selama 3 bulan dan berdiskusi dengan 2350 stakeholder lokal pertanian mulai dari petani, penyuluh lapang, pondok pesantren, aparat desa, aparatur pertanian dari pusat dan daerah, DPRD dan pengusaha pertanian pada tingkat lokal.

Eitt tunggu … survey ini dilakukan pada tahun 2007, atau hampir 4 tahun yang lalu. Hasil survey ini telah disampaikan kepada para pihak berkepentingan seperti kementrian pertanian dan aparatur pertanian di daerah, dengan sebuah rekomendasi perlunya perbaikan kualitas kesuburan tanah pertanian dengan memperbesar penggunaan bahan organik. Pertanian ekologis menjadi sebuah anjuran agar agro-ekosistem bisa kembali dipulihkan, demi kelangsungan produksi pangan jangka panjang.

Meski pemerintah tidak terlampau menganggap temuan ini penting, namun beberapa kader petani telah menjalankan rekomendasi lengkap dengan panduan teknis untuk pertanian ekologis dan menghasilkan dampak signifikan. Namun hal ini tidak cukup memberikan dampak yang masif terhadap perbaikan kualitas agro-ekosistem secara luas. Pertanian pangan masih dijalankan dengan cara konvensional yakni praktek pertanian tinggi input luar, tinggi asupan kimia, subsidi pupuk kimia besar besaran, malah dengan penggunaan benih hibrida yang rakus hara, serta menghasilkan ledakan hama penyakit tanaman secara luas. Klasik, seperti biasa.

Akhi tahun 2011, UN-FAO mengeluarkan sebuah laporan berjudul The State of The World’s Land and Water Resources of Food and Agriculture. Yang menarik dari laporan ini adalah temuan yang kurang lebih sama dengan apa yang ditemukan Yayasan Nastari dan Klinik Tanaman sekitar empat tahun lalu! Seperempat lahan pertanian di dunia mengalami penurunan kualitas alias terdegradasi.

FAO melaporkan bahwa 25% lahan pertanian dunia masuk dalam kategori “highly degraded”, 8 % termasuk “moderately degraded”, sementara 36% dinilai stabil namun dengan catatan “slightly degraded” dan hanya 10% yang dikategorikan semakin membaik. Laporan FAO juga menambahkan bahwa air untuk pertanian cenderung makin langka, tercemar oleh toksik dari input kimia pertanian dan peningkatan salinitas. Ujungnya FAO khawatir karena petani di dunia harus memproduksi pangan 70% lebih besar dari saat ini agar mampu mencukupi kebutuhan 9 trilyun penduduk pada tahun 2050. Kenapa khawatir, beban peningkatan produksi pangan harus dicapai dalam kondisi tantangan perubahan iklim, penurunan luasan lahan dan kondisi agro-ekosistem yang rusak.

FAO merekomendasikan sebuah praktek budidaya yang berkelanjutan, peningkatan produksi dengan cara perbaikan kualitas tanah dan air pertanian alias pertanian ekologis. Produksi pangan tidak bisa lagi mengandalkan cara lama, yakni meningkatkan produktifitas namun dengan teknologi yang merusak kualitas tanah dan air, seperti pertanian dengan input luar tinggi yang masih marak dipraktekkan.

Rekomendasi tersebut nampaknya familiar terutama bagi petani yang telah jauh lebih dulu menerapkan pertanian ekologis empat tahun yang lalu. Saat ini titik titik komunitas kecil di Indramayu, Garut, Banjarnegara, Sleman, Kediri dan beberapa kabupaten lain, para petani telah menikmati hasil usaha mereka perbaikan kualitas kesuburan tanah di sawahnya. Bahkan para petani korban ledakan Gunung Merapi telah menerapkan praktek pertanian ekologis, serta menjual beras organiknya ke pasaran setahun sebelum rekomendasi FAO yang datang terlambat itu.

Beda petani, beda pemerintahnya. Meski dalam luasan terbatas dan jumlah yang kecil, petani memulai mempraktekkan budidaya pertanian yang ramah lingkungan. Menjaga kestabilan produksi dengan cara yang tidak merusak kelestarian ekosistem sawah, dan sebaliknya terus memperbaiki kualitas kesuburan tanah dan penggunaan air secara bijaksana. Pemerintah? Lihat saja angka impor benih padi hibrida yang terus naik. Subsidi benih trilyunan hanya untuk membiayai para importir menyebar benih hibrida yang rakus hara dan memancing ledakan hama. Alih alih memperbaiki kualitas tanah, malah justru menebar praktek pertanian yang mengandalkan tinggi input luar seperti benih hibrida impor.

Apakah Pak Menteri Pertanian membaca laporan FAO?

Oleh: David Ardhian | Agustus 15, 2011

Pendampingan Petani, Masih Perlukah?

Dua belas tahun yang lalu, saya tinggal di satu desa di Karawang. Saya bertugas untuk menjadi pendamping petani. Uraian tugas saya adalah memfasilitasi sebuah proses belajar bernama Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu atau dikenal SLPHT. Saya bersama kelompok tani bertemu secara berkala untuk belajar mencari cara terbaik dalam budidaya dan pengendalian hama penyakit padi.

Jujur, waktu itu saya tidak mengerti soal tanam menamam secara detail, apalagi soal hama dan penyakit padi. Saya memang lulusan IPB, dengan label mahasiswa pertanian. Namun jurusan saya adalah teknologi pangan dan gizi, penelitian saya tentang kinetika reaksi biokimia pangan. Hampir setahun sebelum lulus saya menghabiskan banyak waktu di laboratorium. Saya lebih akrab dengan soal enzim, asam lemak, kromatografi, evaporator dan rumus rumus kimia pangan dibanding soal wereng coklat, penggerek batang dan enceng gondok.

Namun latar belakang calon pendamping bukan soal. Institusi yang menugaskan saya membekali beberapa kemampuan sebelum turun ke komunitas petani. Saya dilatih pendekatan partisipatif dalam memahami desa atau dikenal dengan Participatory Rural Appraisal (PRA). Saya juga dibekali falsafah dan teori tentang pertanian ekologis dan pemberdayaan masyarakat. Debut pertama saya sebagai pendamping lapangan adalah di Karawang yang dikenal sebagai lumbung padi, laboratorium produksi pangan nasional.

Pertama datang ke desa Cikuntul, hal pertama yang saya pikirkan adalah bagaimana beradaptasi dengan lingkungan sosial di Karawang. Ini penting karena saya akan berada di wilayah ini dalam waktu enam bulan, dengan rincian dua minggu di Karawang dan dua minggu berada di Bogor, lokasi kantor saya. Perjuangan pertama adalah melawan diri sendiri. Keberanian untuk menghadapi tantangan baru yang belum pernah saya lakukan. Tinggal di desa.

Saya tinggal di rumah seorang petani. Hidup saya berubah. Sebelumnya saya bisa hidup semau gue ketika tinggal di kost atau numpang di kantor. Kini saya berada di rumah sebuah keluarga tani, dengan seluruh dinamika hidup mereka alami. Saya menjadi dekat dengan masalah keluarga tani, soal lilitan hutang, soal semakin mahalnya harga pupuk dan pestisida, gagal panen dan berbagai pernak pernik kehidupan petani. Setiap hari saya berkeliling untuk berkenalan dengan petani, memahami budaya setempat, nongkrong dengan anak muda dan ngobrol sampai larut malam dengan para tokoh petani setempat. Perlahan saya mulai bisa beradaptasi dan masyarakat pun bisa menerima saya.

Setelah seminggu beradaptasi, mulailah saya menjalankan tugas. Pertama yang saya lakukan adalah merancang pertemuan. Dalam pertemuan pertama saya memperkenalkan diri dan lembaga saya, lalu bertukar pikiran soal masalah hama dan penyakit. Dengan jurus jurus komunikasi pemberdayaan akhirnya saya berhasil meyakinkan petani untuk membuat rencana sekolah lapang. Kami membuat kontrak belajar selama satu musim berisi pertemuan berkala mingguan, melakukan pengamatan lapangan pada lahan ujicoba serta membagi tugas dalam kelompok tani.

Menyiapkan lahan percobaan menjadi interaksi pertama saya dengan lumpur sawah. Kami membuat petak uji coba, mulai dari olah tanah, membuat galengan antar petak sampai dengan membuat persemaian. Sebagai pendamping saya tidak bisa enak enakan, saya harus turut menceburkan diri ke sawah, turut mencangkul tanah dan membersihkan gulma, serta bangun malam hari untuk mengairi petak ujicoba. Keterlibatan langsung saya membuat petani menjadi semakin dekat dan tidak ada jarak sosial antara orang luar dan orang desa. Modal penting untuk langkah selanjutnya.

Dalam sekolah lapang PHT ada beberapa prinsip penting. Yakni, budidaya tanaman sehat, melestarikan predator atau musuh alami, pengamatan tanaman secara berkala dan petani sebagai ahli PHT. Kami sepakat menambahkan satu prinsip lagi yaitu, belajar bersama lebih baik dibanding sendiri sendiri. Kami sepakat melakukan penelitian untuk menguji beberapa jenis varietas padi dan ketan, mencatat pertumbuhan tanaman dan serangan hama penyakit. Ketika proses berjalan, terjadi serangan hama serius yakni ledakan hama keong mas. Petani hampir frustasi karena pesemaian mereka digerogoti keong mas.

Saya mengajak petani untuk melakukan analisis masalah ledakan keong mas ini. Mengapa keong mas bisa meledak populasinya? Dengan menggunakan analisis pohon masalah kami menemukan akar masalah, penyebab dan dampaknya. Kami merangkumnya dalam kertas plano mengenai prioritas masalah dan tindakan yang harus dilakukan. Tapi kami tak lantas percaya, kita ingin membuktikan di lapangan dan melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Petani nampak bersemangat siap bergerak untuk menjalankan agenda yang disusun mereka sendiri.

Pertama kami menghitung populasi serangan dengan membuat bujursangkar selebar 1×1 meter dari potongan bambu. Bersama petani kami melakukan transek lapangan atau berjalan dari ujung hamparan sampai dengan ujung lainnya, sekitar 10-15 km. Setiap rentang jarak tertentu, kami berhenti dan menghitung jumlah keong mas dalam bujur sangkar serta mengamati perilaku si keong mas tersebut. Hasilnya adalah sangat parah, populasi si keong sangat tinggi. Tidak ada pilihan harus dikendalikan secara massal dengan cara diambil langsung. Menggunakan pestisida apapun tidak akan berhasil karena keong mas telah bercokol di saluran irigasi, memungkinkan tersebar luas ke seluruh hamparan.

Mengendalikan hama keong mas dalam populasi besar, memerlukan keterlibatan warga desa dalam jumlah besar. Harus ada gerakan massa gotong royong untuk mengatasi keong mas. Saya bersama tokoh petani mengorganisasi massa dari tingkat RT, Dusun sampai tingkat desa. Kami mengharapkan kepala desa mengeluarkan instruksi kepada warganya untuk bersama sama dalam satu hari gotong royong mengambil keong.

Ternyata rencana ini terdengar oleh aparat kodim dan kepolisian. Dalam masa dimana polisi dan tentara masih ganas ganasnya, sebelum masa reformasi maka mereka curiga atas rencana kami untuk mengumpulkan massa. Saya dipanggil dan diinterogasi ala Orde Baru, dan diancam ditangkap jika terjadi huru hara. Walaupun sempat deg degan, namun saya berhasil meyakinkan kegiatan gotong royong. Kepala desa dan para tokoh tani membantu saya dalam meyakinkan kepada aparat keamanan, bahkan mengajak para polisi dan tentara untuk terlibat karena masalah keong mas ini sudah meresahkan dan merugikan petani.

Gerakan massal pun berlangsung. Masyarakat tumpah ruah turun ke sawah, membawa karung kosong dan menangkapi keong mas dan membasmi telurnya yang berwarna merah muda. Polisi dan tentara datang dengan pakaian lengkap, terpaksa harus berkotor lumpur karena tidak ada pilihan ditodong untuk ikut mengambili keong mas. Saya masih ingat ada ribuan karung menumpuk di tepi sawah berisi keong mas. Sebagian dibawa pulang untuk diolah menjadi pakan bagai yang punya ternak itik. Sayang waktu itu belum ada facebook dan twitter, bahkan kamera foto pun saya tak punya.

Rencana kami membuahkan hasil. Pesemaian tak lagi tidak diganggu keong mas. Populasi keong mas jauh menurun, jika ada serangan sisa petani sudah tahu tekniknya. Kami menemukan sebuah cara menjebak keong mas dengan membuat lobang di pinggir sawah, lalu memasukan dedaunan busuk sehingga menarik perhatian si keong. Ternyata efektif, keong mas lebih suka daun busuk dibanding daun padi muda di pesemaian. Desa Cikuntul pun selamat dari keong mas.

Selama satu musim tanam prinsip pertanian ekologis mulai dipahami dan dipraktekkan petani. Petani sudah bisa membedakan mana hama dan mana musuh alami. Petani pun mulai tidak sembrono menggunakan pestisida. Mengapa harus menyemprot membabi buta kalau masih ada teman (musuh alami) di sawah? Uang pun bisa dihemat dari pada membeli racun hama.

Sayangnya setelah enam bulan masa tugas saya, datanglah program Kredit Usaha Tani (KUT) yang diberikan pemerintah dalam bentuk paket pupuk dan pestisida. Usaha membangun prinsip PHT berlawanan dengan program pemerintah yang justru sudah menyediakan pestisida dalam kredit usaha tani. Apa yang sudah dipelajari, mulai luntur dan menyisakan beberapa petani saja yang masih tangguh dalam praktek pertanian ramah lingkungan.

Pengalaman dalam pendampingan lapangan membuat saya menjadi paham urat nadi masalah pertanian di lapangan. Tahun berikutnya saya naik kelas, bergerak pada level pengorganisasian belajar lintas wilayah. Membangun jejaring antar sesama petani Karawang yang sudah pernah sekolah lapang PHT, atau petani alumni SLPHT. Kami merancang sebuah early warning system untuk ledakan hama dan cara mengatasinya. Sempat berjalan ketika mengatasi persebaran serangan wereng coklat dengan pengendalian non pestisida kimia. Namun usaha ini bertentangan dengan pemerintah yang masih mempromosikan pestisida sebagai cara satu satunya dalam mengendalikan hama.

Pembelajaran dan diskusi petani berkembang tidak hanya melulu pada soal hama dan agro-ekosistem namun juga soal hak hak petani. Bersamaan masa reformasi, petani mulai berani mengatakan pendapatnya. Tak jarang terjadi pertentangan. Seorang petani sahabat saya sempat didemo oleh segerombolan PPL, karena meneriakkan pembubaran PPL akibat kesal dengan penggunaan pestisida.

Saya tidak tahu apakah pendampingan petani masih dibutuhkan dalam masa reformasi, demokrasi dan keterbukaan media massa seperti sekarang. Pendampingan dengan terlibat langsung, tinggal di desa dan bersama membangun agenda bersama untuk mengatasi masalah petani, menggalang kebersamaan dan pembelajaran sosial serta memasyarakatkan pertanian yang ramah lingkungan adalah sebuah pendekatan yang mungkin cocok untuk masa itu. Jaman sekarang, pendampingan petani terkesan kurang keren dan heroik. Tak banyak lembaga yang konsisten mengembangkan program pendampingan petani. Jikapun ada, pola pendampingan lebih bersifat instan, pendamping hanya datang pada saat pertemuan. Semakin kabur siapa yang mendampingi dan siapa yang didampingi. Pertisipasi direduksi menjadi mobilisasi. Tidak terbangun social learning, pendamping hanya mengerjakan profesi sesuai arahan proyek. Program pendampingan sekilas nampak seperti wisata kunjungan sosial dalam waktu singkat saja di desa.

Perubahan juga pada komunitas petani, yang lebih terbuka. Informasi tersedia luas, internet masuk ke pedesan.Petani semakin kritis dan pintar. Maunya yang praktis praktis saja. Strategi pendampingan pun mengalah disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika sosial ekonomi petani pada saat ini. Petani pun sudah sangat akrab dengan teknologi HP, komputer dan teknologi audiovisual. Makin modern.

Modernisasi pendampingan dan penyuluhan petani menawarkan sisi kepraktisan dan efisiensi dengan adanya teknologi informasi. Pendamping membawa peralatan canggih, kamera foto digital, perekam gambar dengan presentasi power point ke lapangan. Bagaimana dampaknya? Toh persoalan petani tidak kunjung usai. Pertanian ekologis tidak banyak berkembang luas. Pendamping semakin atraktif, namun petani semakin pragmatis.

Sampai sekarang masa depan pertanian ekologis belum nampak terang. LSM pendamping petani makin menurun, lebih banyak yang bergerak di aspek politik pertanian dibanding aspek kongkret di lapangan seperti soal hama dan penyakit. Kebijakan pemerintah masih belum tegas dalam memilih pertanian ekologis sebagai fondasi kebijakan, masih dalam pola lama ala Revolusi Hijau tahun 1980-an dengan mengandalkan benih hibrida impor, buku dafar perusahaan dan jenis pestisida makin tebal dari tahun ke tahun, pertanian berkelanjutan masih sebagai kata pemanis yang tidak banyak terbukti dalam praktek kebijakan dan program di lapangan. Masalah petani masih sama dengan sepuluh dua puluh tahun yang lalu. Mandeg.

Suatu hari saya mendengar cerita dari seorang kawan tentang aparatur pertanian di sebuah kabupaten membagi bagikan pestisida dalam sebuah tong. Pestisida berbagai jenis dioplos dengan air dalam tong, para petani berebutan untuk mengambilnya dengan gayung. Saya sedih mendengarnya. Pada masa seperti sekarang, perilaku dan tindakan kuno dalam mengatasi hama masih dilakukan. Fakta tersebut, membuat saya merenung barangkali pendampingan petani masih perlu dilakukan. Pendampingan dalam esensi yang sama, namun format yang disesuaikan dengan perkembangan era saat ini.

Oleh: David Ardhian | Juli 24, 2011

Gemari Buah Lokal

Pepaya mangga pisang jambu
Dibawa dari pasar minggu
Disana banyak penjualnya
Dikota banyak pembelinya

Demikian kutipan lagu “tempo doeloe” soal buah buahan. Kalau pencipta lagu itu hidup pada masa ini mungkin dia akan berpikir lebih keras untuk menggubah syair-nya. Di pasar minggu, atau pasar lainnya di seluruh tanah air, banjir berbagai ragam buah impor dari Tiongkok, Thailand, Australia dan Amerika. Buah impor mulai mendominasi pasar buah nasioal, tidak hanya di supermarket namun di lapak pasar tradisional.

Pepaya, mangga, pisang dan jambu lokal masih tersedia di pasar, walau terdesak pada sudut sempit dalam pasar buah nusantara. Kulit kuning jeruk tiongkok lebih bercahaya, meminggirkan posisi Jeruk Medan dan Pontianak. Pisang impor lebih mulus terpampang pada sudut stand buah di supermarket sementara pisang lokal absen. Buah kelengkeng dan anggur impor bergelantungan di lapak pedagang pinggir jalan. Penggemar durian, mulai berbagi perhatian antara durian bangkok dan durian lokal. Para ibu mengerubuti apel Tiongkok dan Washington, meninggalkan apel Batu dalam sepi. Anak kita lebih mengenal buah pear dari pada manggis.

Hal ini meresahkan himpunan alumni IPB, sebuah institusi pertanian terbesar di Indonesia. Mereka mencanangkan kampanye “Gemari Buah Lokal” untuk mendorong kepada seluruh pemangku kepentingan agar mengangkat harkat dan martabat produk dalam negeri, khususnya buah Indonesia. Mereka prihatin dengan semakin terdesaknya buah lokal oleh serbuan buah impor. Ada harapan untuk meningkatkan kebanggaan pada buah asli Indonesia, membantu keberdayaan petani dan menjadikan buah lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebuah langkah yang layak diapresiasi.

Acara puncak kampanye “Gemari Buah Lokal” adalah dengan jalan jalan santai (JJS) yang dihadiri para tokoh termasuk pejabat publik pertanian dan ribuan peserta. Soal kampanye tentu beda dengan kebijakan. Kebijakan tidak bisa berjalan santai, ditengah situasi pasar buah yang mulai terdesak oleh serbuan buah impor. Perlu langkah segera, ditengah keterlambatan.

Jika para penggerak kampanye adalah pengambil kebijakan, akan menjadi pertanyaan ketika upaya cepat tidak bisa dihasilkan. Membanjirnya impor buah adalah soal kebijakan. Ketidakberdayaan dan minimnya insentif petani untuk memproduksi buah lokal berkualitas adalah soal kebijakan. Implementasi tata niaga dan infrastruktur pengembangan buah lokal adalah soal kebijakan. Riset dan pengembangan buah lokal, apalagi kalau bukan soal kebijakan.

Semua hal ikhwal pengembangan buah lokal adalah masalah kebijakan, kecuali preferensi konsumen yang kini dipersalahkan karena cenderung lebih suka buah impor dibanding lokal. Konsumen punya hak memilih, atas dasar preferensi harga dan kualitas buah yang paling ekonomis dan menarik buat mereka. Bagaimana bisa mencegah pengendalian nafsu atas pilihan ekonomis jika memang kebijakan malah mendorong terbukanya pasar buah impor besar besaran? Kampanye barangkali sebuah pendekatan yang baik, namun tidak cukup efektif jika kebijakan pertanian berwajah ganda. Satu sisi membuka kran impor dengan tarif rendah bahkan nol untuk buah impor, disisi lain memberdayakan buah lokal.

Wajah ganda kebijakan pertanian dalam tata niaga buah nasional memang telah berlangsung lama. Liberalisasi pasar pertanian telah berlangsung sejak ratifikasi Indonesia dalam WTO sejak tahun 1994. Berbagai kesepakatan perdagangan bebas regional dan bilateral menekan bea masuk buah impor pada titik terendah. Gelombang impor buah adalah sebuah konsekwensi dari pilihan kebijakan pemerintah bahwa : liberalisasi baik untuk kita semua, termasuk liberalisasi pasar pertanian.

Pada sisi lain, keinginan untuk memberdayakan buah dan petani lokal terus dilakukan. Pemerintah terus melakukan upaya peningkatan produksi buah nasional, namun nyatanya persaingan pasar menggambarkan ketimpangan. Negara maju dan pengekspor buah lebih tangguh dalam membantu subsidi kepada petani mereka, sementara petani Indonesia terus terbelenggu dalam kemarjinalan dan keterbelakangan.

Data bisa menjelaskan hal tersebut. Menurut catatan Kementrian Pertanian produksi buah nasional meningkat sekitar 26 persen dalam lima tahun terakhir, dan menggerakkan peningkatan 63,5 persen PDB. Tahun 2010, produksi buah nasional mencapai 19,3 juta ton sementara angka impor buah adalah 667 ribu ton, atau hanya 3,5 persen saja. Bahkan ekspor buah Indonesia mencapai 226 ribu ton. Namun demikian pada tataran nyata, angka angka tersebut tidak banyak berarti. Angka bisa berbicara soal jumlah, namun penguasaan pasar buah impor di supermarket dan lapak tradisional bisa disaksikan langsung di lapangan. Kebijakan tarif rendah seperti menenggelamkan angka angka prestasi Kementrian Pertanian, gelombang impor buah tak terbendung.

Petani apel di Batu Malang adalah kasus yang menarik untuk dipelajari. Petani menghadapi masalah serius karena tekanan apel impor yang berharga lebih murah meski melintas ribuan kilometer dari Amerika dan Tiongkok. Minimnya insentif, tekanan hama dan penyakit yang membengkakkan biaya produksi, tekanan alih fungsi lahan pertanian, membuat investasi pada apel batu semakin menurun. Tidak heran apel Manalagi terpukul oleh kekuatan apel Washington di kandang sendiri. Petani apel Batu minim dukungan pemerintahnya, bertarung di pasar dengan petani negara pengekspor yang sarat subsidi negara.

Petani jeruk Medan menjual murah produknya pada para tengkulak. Pedagang buah membeli jeruk Medan, lalu dikirim ke Pulau Jawa dengan resiko tinggi. Pungutan resmi dan tak resmi terjadi setiap melintas kabupaten di sepanjang jalur trans Sumatera. Antrean truk panjang di pelabuhan Bakahuni-Merak sering membusukkan buah jeruk yang sebelum masuk ke pasar tujuan. Pengemasan buah seadanya, ditumpuk dalam keranjang, terinjak injak oleh pengangkut, hanya ditutup terpal dalam truk terbuka membuat buah jeruk Medan kalah kinclong dengan jeruk impor yang bisa awet dalam sistem pengemasan dengan pendingin. Sudah diduga anak anak kita akan lebih memilih yang mana.

Supermarket dan pasar tradisional adalah medan pertarungan sesungguhnya. Menjelang Imlek, supermarket berhiaskan dominasi warna merah dengan lampion tergantung di berbagai sudut ruangan. Jeruk Tiongkok berwarna kuning emas berjejer, bersama buah tiongkok lainnya dengan label “sale”, lagi murah dengan harga promo dan dikerubuti banyak pembeli. Pada pojokan yang sepi, jeruk Medan masih tertata utuh dan miskin pengunjung. Tengok juga ke lapak pedagang buah di pinggir jalan, anda pasti bisa menyimpulkan.

Indonesia berada dalam keterlambatan akut dalam membangun kekuatan pertaniannya. Banjir buah impor adalah bentuk telanjang dampak liberalisasi pertanian yang telah berlangsung lama. Preferensi konsumen pada buah impor adalah sebuah konsekwensi dari pembukaan impor buah besar besaran, bukan sebab tapi akibat. Tarif impor rendah untuk produk buah, bahkan sampai nol persen adalah bentuk nyata dari komitmen pemerintah yang timpang antara membuka kran impor dangan melindungi buah lokal.

Kampanye Gemari Buah Lokal haruslah didorong menjadi sebuah advokasi kebijakan. Sudah seharusnya, dimana beberapa pegiat kampanye buah lokal adalah pejabat publik yang bertanggungjawab di sektor pertanian, maka perubahan kebijakan harus segera dilakukan. Saat ini adalah momentum untuk pemerintah melakukan tindakan segera dalam melindungi, mengembangkan dan memberdayakan buah lokal sekaligus petani Indonesia. Jika suara masyarakat sipil sejak lama meneriakkan isu ini tidak didengar, kini ketika pejabat publik turut berteriak untuk diri mereka sendiri semoga bisa membuahkan hasil. Mari kita tunggu sembari membeli buah lokal Indonesia.

Older Posts »

Kategori