Oleh: David Ardhian | Januari 6, 2011

Kebijakan Pangan dan Pertanian 2011, bagaimana?

Siang tadi saya tidak sengaja nonton TVRI. Gara gara nonton TVRI, saya membuat tulisan agak panjang 🙂

Arahan Presiden

TVRI menayangkan arahan Presiden dalam Rapat Kabinet yang pertama kali untuk tahun 2011 di Istana Negara. Dalam tayangan yang sempat saya ikuti, Presiden mengemukakan beberapa hal penting terkait dengan situasi ekonomi nasional terkini. Secara khusus Presiden mengupas mengenai inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga pangan. Beberapa poin yang sempat saya tangkap adalah sebagai berikut :

Pertama, Presiden memberikan gambaran umum mengenai situasi global dimana terjadi kenaikan harga beberapa jenis pangan strategis dunia. Kenaikan harga pangan dunia ini tentu saja memberikan dampak bagi Indonesia. Presiden mengulas bahwa kenaikan harga pangan dunia pernah dialami tahun 2008, dengan faktor penyebab kurang lebih sama. Pertama disebabkan karena terjadi penurunan produksi akibat bencana alam di beberapa negara, sehingga stok global memang menurun dan seterusnya.

Kedua, Presiden membahas bagaimana Indonesia mensikapinya dan menetapkan langkah untuk mengatasi lonjakan harga pangan. Presiden mengingatkan bahwa tidak semua harga pangan bisa dikendalikan karena mengikuti mekanisme pasar. Namun dalam situasi tertentu, seperti krisis diperlukan peran lebih pemerintah untuk intervensi pengendalian harga. Presiden memerintahkan agar kementrian perekonomian dengan supervisi wakil Presiden mengambil langkah stabilisasi harga pangan.

Ketiga, selain upaya jangka pendek Presiden menekankan pentingnya untuk mempersiapkan strategi jangka panjang. Dalam kerangka jangka panjang, presiden menekankan pentingnya peningkatan produksi pangan utamanya beras. Untuk itu kondisi pemungkin perlu disiapkan seperti benih yang tahan perubahan iklim, antisipasi hama dan penyakit, pengembangan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi pangan nasional.

Keempat, upaya peningkatan produksi adalah diarahkan untuk terus mencapai ketahanan pangan nasional sampai pada level mikro yaitu ketahanan pangan lokal dan keluarga. Presiden memberikan contoh bagaimana keluarga bisa berkontribusi bagi ketahanan pangan dengan memanfaatkan pekarangan untuk menanam sayur mayur dan berbagai kreatifitas lain untuk menggambarkan peran keluarga dalam mendukung ketahanan pangan.

Kelima, secara khusus presiden menekankan perlunya untuk membangun data produksi pangan yang akurat, tidak over-estimated sehinga bisa mengakibatkan kekeliruan dalam mengambil kebijakan. Presiden memerintahkan kepada BPS, Kementrian Pertanian dan para aparatur di daerah untuk mengembangkan metode yang tepat dan lebih intensif ke lapangan agar bisa menghitung data produksi pangan sesuai dengan kenyataannya.

Selanjutnya Presiden memberi kesempatan kepada Menko Perekonomian untuk presentasi tentang situasi terkini ekonomi termasuk lonjakan harga pangan, langkah yang sudah dan akan dikembangkan. Sayangnya TVRI tidak meneruskan tayangannya 🙂

Operasional Kebijakan

Terimakasih kepada TVRI, sehingga orang biasa seperti saya bisa mendengarkan langsung pidato presiden dalam rapat kenegaraan. Kesan umum saya, Presiden nampak menguasai masalah situasi pangan dan pertanian serta memiliki analisis yang cukup utuh dari masalah global, situasi nasional dan bagaimana dampaknya pada tingkat lokal. Arahan normatif Presiden tersebut semestinya bisa memandu para menteri dan pejabat terkait untuk menindaklajuti dalam bentuk kebijakan strategis yang operasional.

Dari hal yang disampaikan tentu saja Presiden “benar” semua karena berisi apa yang “harusnya” dilakukan. Namun demikian perlu untuk secara kritis melihat apakah pemerintah memiliki instrumen dan atau kapasitas dalam menjalankan arahan tersebut. Lebih jauh apakah Presiden benar benar akan memantau perkembangan kebijakan operasional yang berjalan di lapangan, serta menetapkan indikator acuan untuk melihat keberhasilan atau kegagalan tersebut.

Sering dalam prakteknya, kementrian terkait mengulang kembali apa yang menjadi “arahan” Presiden kepada bawahannya, dan bawahannya pun mengulang kembali “arahan” tersebut pada tingkat birokrat lebih bawah lagi. Kebijakan bukan menjadi sebuah transmisi dari pesan umum menjadi langkah kongret operasional namun hanya perguliran “arahan”, yang ketika sampai pada tataran operasional tidak punya kapasitas dalam melaksanakannya.

Stabilisasi Harga Pangan

Sebagai contoh adalah soal stabilisasi harga pangan. Pemerintah masih membayangkan bahwa situasi saat ini sama dengan jaman Orde Baru, dimana instrumen kelembagaan pengendalian harga pangan bisa dijalankan oleh Bulog. Padahal kini situasi berbeda. Bulog telah menjadi perusahaan umum, dimana fungsi sosial atau tugas negara kini bukan fungsi utama. Terlebih tidak ada lagi dukungan dana untuk membantu Bulog berperan sebagai stabilitasi harga. Bulog kini menjadi pedagang pangan biasa, fungsi sosial hanya dijalankan dalam bentuk operasi pasar terbatas dan penyaluran beras untuk rakyat miskin.

Dari soal definisi bahan pangan pokok saja sudah bermasalah, dulu ada 9 jenis bahan pangan pokok dengan kriteria yang menguasai hajat hidup orang banyak dan pengaruhnya terhadap inflasi. Dulu Bulog perkasa dalam sebagai penyangga bahan pokok sekaligus stabilitasi harga. Kini hanya sedikit komoditas yang masuk dalam definisi bahan pokok, itupun hanya dikendalikan secara terbatas oleh Bulog. Kalau misalnya kita sebut cabai, yang sekarang harganya melambung apakah masuk dalam definisi bahan pangan pokok dalam lingkup kendali Bulog sekarang?

Jadi pantas saja kalau ketika harga cabai melambung tinggi pemerintah tidak berdaya mengatasinya. Pemerintah sama dengan kita kita hanya bisa berkomentar dan mengamati saja. Produk hortikultura hampir sebagian besar harganya dibentuk melalui mekanisme pasar. Liberalisasi sektor pertanian yang paling telanjang adalah di sub-sektor hortikultura. Lihat saja membanjirnya buah impor di pasar tradisional.

Melambungnya harga cabai melampai batas kewajaran karena tidak terkendalinya pasar. Konsumen tercekik terutama kelas rumah tangga dan pedagang kecil. Apakah petani untung? Kita lihat apakah rantai pasar efisien dan adil. Ternyata petani tidak lantas kaya dengan kenaikan harga cabe ini. Para pedagang perantara dan spekulan yang mengeruk untung besar dari penguasaan mereka atas pasar. Asimetri informasi harga, membuat petani dalam pihak yang lemah. Apa yang bisa dilakukan pemerintah, kementan, kemendag, Bulog? Tidak ada. Pemerintah telah memilih bahwa liberalisasi pasar pertanian adalah baik. Dan tanggung sendiri akibatnya.

Pengendalian Ekspor Impor

Dengan minimnya stok pangan dunia maka semua negara akan mengamankan pangan pokoknya. Harga pangan pun melonjak. Impor akan semakin mahal. Harga minyak dunia meningkat maka ongkos transportasi lintas negara akan melambung. Pemerintah boleh bersikap dengan memberi saran agar stok pangan nasional diutamakan, namun pasar bebas belum tentu menuruti.

Misalnya bagi para pedagang kita justru sebaliknya, malah situasi ini kesempatan cari untung dari ekspor. Masih ingat ketika harga beras dunia meningkat tahun 2008, para pedagang sudah sibuk untuk mendorong ekspor beras. Logika pasar bebas itu demikian adanya. Semua diatur oleh hukum penawaran dan permintaan. Pemerintah? Minggir saja.

Ada banyak tekad dari pemerintah misalnya swasembada jagung. Namun tekad itu dikembangkan dengan mekanisme perdagangan diserahkan pada kuasa pasar. Logis jika terjadi arus ekspor jagung ketika harga jagung internasional meningkat. Jika stok jagung nasional berkurang maka gejolak bisa terjadi, pakan ternak mahal maka harga daging ayam melambung dan seterusnya.

Hal lain misalnya ketersediaan kedelai. Ketika harga kedelai internasional meningkat maka impor akan semakin mahal. Jika impor berkurang, sementara produksi kedelai dalam negeri segitu gitunya maka terjadi gejolak. Pedagang tahu dan tempe bisa protes lagi ke Istana. Ketika ramai dibicarakan publik baru diambil tindakan, itupun dengan meningkatkan volume impor.

Bagaimana penanganan produksi kedelai kita? Ada yang berseloroh kedelai dan jagung itu seperti orang pakai sarung. Diangkat keatas yang bawah kelihatan, diangkat kebawah yang atas kelihatan. Artinya kedelai dan jagung menggunakan lahan yang sama, produksi jagung naik kedelai menurun dan sebaliknya. Hal ini karena zonasi produksi tidak dilakukan dengan cermat, sementara tidak ada insentif bagi petani untuk menanam kedelai. Semua tergantung pasar, terserah saja.

Kebijakan tanpa Kapasitas

Sebuah kebijakan tidak hanya diukur dari seberapa tepat secara teori atau arahan normatif namun juga bagaimana dia dijalankan dan dampaknya bagi perubahan yang diinginkan. Mengapa situasi pangan dan pertanian kita tidak kunjung membaik? Hal ini disebabkan karena kondisi pemungkin untuk perubahan tidak dikuasai atau tidak bisa dikendalikan oleh pengambil dan pelaksana kebijakan.

Kondisi pemungkin tersebut salah satunya adalah kesiapan kelembagaan. Kelembagaan pertanian kita telah lama dibiarkan rumit, dan tidak efisien dalam menjalankan kebijakan. Pada tingkat pasar pertanian misalnya. Kelembagaan pengendalian harga telah mati sejak lama, tidak ada instrumen yang bisa dijalankan konsisten oleh sebuah kelembagaan pengendali harga pasar pertanian. Tak heran ketika pasar menentukan harga secara tak wajar, pemerintah tidak bisa berbuat apa apa. Bulog tidak lagi bisa diharapkan dengan status perusahaan umum, lalu apa bentuknya?

Kelembagaan pertanian kita saat ini adalah birokrasi pemerintah dengan corak sentralisasi dalam atmosfer desentralisasi. Padahal yang dibutuhkan adalah kelembagaan pertanian kita yang sesuai dengan dinamika desentralisasi, termasuk mengakomodasi kepentingan para pihak termasuk petani. Bagaimana desain kelembagaan pertanian yang mampu mengembangkan konsensus para pihak, agar bisa menindaklanjuti arahan presiden soal peningkatan produksi, ketahanan pangan, pengembangan data yang baik dan seterusnya. Bagaimana mungkin kebijakan berjalan dengan baik, jika sudah hidup di alam otonomi daerah, namun pola dan corak kebijakan masih dalam alam pikir sentralisasi? Tak heran jika pemerintah daerah dan pusat dalam hubungan transaksional. Jika itu proyek ada duitnya bisa jalan di daerah, jika tidak dan sekedar arahan belum tentu bisa jalan.

Terakhir adalah evaluasi dampak kebijakan menjadi penting. Evaluasi tentu saja harus dengan indikator yang jelas. Tidak sekedar melempar jargon program lalu melupakan bagaimana mengukur pencapaiannya. Ini sudah periode kedua pemerintahan, adakah yang masih ingat dengan revitalisasi pertanian? Bagaimana evaluasinya, sejauh mana pencapaiannya, tidak ada yang tahu. Kita hanya tahu harga cabe melonjak, itu saja 🙂

Ada momentum untuk perubahan, namun banyak terlewatkan. Ketika terjadi krisis maka baru ada tindakan tergesa, ceritanya mau perubahan. Namun sulit membayangkan perubahan tanpa ukuran. Apalagi perubahan dijalankan tanpa menyiapkan kondisi pemungkin (enabling condition) yang menjadi prasyarat untuk melakukan perubahan. Jika pertanian menjadi kasus, maka hasilnya seperti biasa saja bussines as usual. Kebijakan pertanian dijalankan tanpa kapasitas untuk menjalankannya. Pertanian Indonesia 2011 ini akan tetap begini begini saja.


Tanggapan

  1. kepemimpinan Presiden dalam situasi politik yang liberal dan mekanisme pasar pemerintahan saat ini, seakan tidak bergigi. beberapa kali Presiden menyerukan agar para pembantunya menuntaskan soal mafia hukum terkait gayus..hasilnya?nothing hingga kini..pidato presiden jg ttg import oleh bulog, dgn statemen yg keras soal kedaulatan bangsa, hanya sampai dikoran2 saja, realisasi kebijakan? NOL..
    nah sekarang pidato lagi……

    • Halo pak, apa kabar?
      senang bisa dengar komentar yang mewakili perasaan saya. dulu saya berpikir, yang lain boleh rusak tapi pertanian dan lingkungan jangan. ternyata rusak juga 😦


Tinggalkan Balasan ke David Ardhian Batalkan balasan

Kategori